Di Balik Bulan Sucimu

By : Nuril Widad

Matahari pagi telah muncul diujung fajar, semboyan angin mulai menyapa pada makhluk alam, kicauan burung mulai membangunkan tumbuh-tumbuhan dan akupun juga terbangun dari kelelapan, cepatku buka mataku dengan penuh semangat berharap sang fajar menyapa, segera ku bersihkan diri dan melaksanakan shalat dhuha untuk bermunajat kepada sang tuhan semata.

      “nak yang mau berangkat ..” teriak ibu, “iya bu..” jawabku yang sangat tergesa-gesa. ku segerakan langkahku mengambil tas ransel dengan barang-barang yang ku bawa. Rasanya cepat banget di rumah cuma beberapa hari pulang pondok karna kewajiban pondok romadhonan.

Setibanya dipondok aku bersalaman pada teman-teman, terutama sohibku, ya sohibku..saking kangennya mereka memelukku lalu memanjakanku selayaknya anak kecil. Hingga tibalah jam pelajaran dimana aku harus menyetorkan hafalan pada ibunyai dan ternyata dari gugubnya aku, Alhamdulillah aku bisa melanjutkan hafalan tahfidzku.

2 hari menjelang aroma manis kasturi, akhirnya berkonkurensi ngaji disudut masjid berjejer melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an . Pagi siang sampai pertengah malam tetap teriring lantunan syair” pujangga.
Pojok pencapaian hataman, berkesiap menyambut hari pulang. Sorak teriak  sudut kamar berkesinambung merayakan hari lebaran, yh.. lebaran para santri titik bahagia tanggal pusat perpulangan. Namun, disisi lain jiwaku sedang bergemuruh, fikiran seolah tak terkendali mengingat seorang lelaki yang berusaha mendekatiku sewaktu Aku pulang, wajahnya terlalu melekat dalam angan “ astaghfirullah.. kenapa fikiranku terbayang hal yg tidak pantas, tak inginku rasakan jatuh melalui hati yang bergemuruh, kenapa rasa itu datang diwaktu yg cukup mencekam“ hatiku batin, ada apa dg diriku. “nis..” sapa aurel mengejutkan lamunanku, ”hm..iya” ucapku sambil membereskan buku yang berserakan, “ngelamun terus dari tadi, kenapa.. ada masalah ?” tanya aurel dengan tatapan sinisnya, ”gak ada masalah kok..” jawabku singkat, “ceritalah..kamu punya masalah kan?” dengan ala gaya alisnya, “emang kenapa aku, gak ada masalah kok” meyakinkan padanya, “cerita doank gc dikasih, pelit” diapun merajuk, “iya dehh..aku cerita asal jangan ngambek, mana senyum manisnya dulu..”  bujukku, dengan wajah senyum siaurel ketidaksabaran,  “jadi gini, waktu pulang akudisuruh ibu beli-beli di sebrang jalan, lepas pulang dari toko ada yang manggil namaku cukup jelas nama itu ku dengar  “nissa’..”  ku cari asal suara itu, nyatanya seorang akhwan berkopiah putih dengan ala khas sarungan, “Kamu pulang nis..” tanya sipria misterius itu, “na’am ana pulang, maaf akhi siapa?”  tanyaku pada lelaki misterius itu, “ouh iya..’afwan kita belum kenalan, perkenalkan nama ana fauzan ana hanya ingin kenal lebih dalam tentang ukhti, boleh?” ujarnya, wajahku bingung penuh tanya “ada apa” batinku. “akkhi ingin ta’aruf dengan ukhti, apakah ukhti mau??” ujur pria tersebut, “maaf akhi, masih ada sesuatu yg ana kejar, hafalan yang harus diperdalam oleh ana jikalau anda gegabah, mohon yang lain saja ana permisi, Assalamu’alaikum” langsung ku percepat  langkahku demi langkah  serta hal yang tak pantas berdua  dengan waktu yang cukup lama.

…gitu ceritanya rel” langkahku sembari menepukkan bantal, ”terus kenapa kamu panik gitu..?” tanya aurel, “yah..enggak cuman gak enakan saja gitu, lagian..” akupun terdiam, ” dan lagi apa nis..” iapun curiga, “ rasanya …aku mulai jatuh cinta” nadaku gugup, “apa jatuh cinta..? baru kali ini ku dengar seorang hafidzoh nisa’ bilang jatuh cinta pada seseorang” ucapnya keras, “huts…jangan kenceng-kenceng entar kedengaran yang lain” sambil menutup mulutnya. “eh..keceplosan, cie..udah mulai jatuh cinta nih..” canda aurel, “gak usah ngeladenin, biarlah cinta ini kusimpan sujud malamku, ya..merindukan dia kepada sang pemiliknya jikalau jodoh pasti bersama kan..” ujarku padanya, “tapi perlu ingat, jangan di genggam terlalu erat sebab jika ia sesak dia akan berkhianat, cukup kau genggam dia lewat sepertiga malammu, meski akhirnya ada luka setidaknya kau perjuangkan ia dengan jalan yang Allah suka, hanya Allah yang tahu tentang harapan hati yang sesungguhnya” ujarnya, “..dan pahamilah, aku lebih memilih mencintainya dalam diam, meski pada akhirnya takdir mengharuskanku tuk melupakannya, setidaknya pernah mencuilkan nama diatas sajadahnya.., meski hasil tak skenario yang terencana, maka puncak dari cara mencintainya adalah mengikhlaskannya” ku teruskan kata demi kata menyambung dengan sajaknya, “emz..udah tau sajak nih orang” candanya, senyum yang kutampakkan padanya menjadi jawaban singkat.

##


             waktu yang ditunggu telah tiba, semua santtri bergegas membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang, satu demi satu sowan kepada ibunyai tercinta dan tidak luput salim kepada kakak-kakak Pembina yang telah sekian lama membimbing kita. Setibanya dirumah salaman ke ayah, ibu dan adek disertai bercerita tentang gimana pondok  ramadhan disetiap harinya.

Beberapa hari setelah pulangan pondok, waktu yang cukup lelah mengerjakan pekerjaan rumah, tiba-tiba suara salam didepan pintu.  segara kubuka karna paman mau mapir kerumah, nyatanya  MasyaAllah.. akankah ini sekedar mimpi yang tadi ku kira paman rupanya lelaki yang ku kenal dalam do’a, entah kenapa hatiku berdetak kencang kaki ku mulai kaku selayaknya batu, “fauzan..” nada yang terbata-bata, “ya ukti, ini ana fauzan .., apakah ada ayah ukhti di rumah..?” tanya fauzan, “a..ada” jawab ku gugub, kenapa tiba datang langsung ayah yg di tanyakan ada apa..?,  “boleh saya bicara langsung dengan ayah ukti..?” ujarnya, “na’am akhi .., ayah ada tamu” sambil beranjak kedapur mencari dimana keberadaan nya ayah saat itu, “iya nak, ajak dia masuk” teriak ayah, “silahkan akhi” ku arahkan jalan menujuruangtamu.
            Lima menit berlalu, ayah pun datang menyuruhku menyajikan segelas kopi untuknya. “ada apa nak..?” tanya ayah, “sebelumnya saya minta maaf atas kehadiran saya kesini telah mengganggu kesibukan bapak, maaf kedatangan saya kesini ingin mengenal lebih jauh tentang putri bapak, apakah bapak mengizinkan?” tanya fauzan dengan nada senyumnya,  “kalok masalah itu nak…bapak terserah nisa’ karna ia yang akan menjalaninya, bagaimana nisa’…” tanya ayah dengan wajah kepastiannya, bibirku mulai bergetar, tubuhku mulai kaku mendengar pertanyaan itu,  “apakah akhi siap menunggu hafalan ana…?” pertanyaan yang cukup gugup ku katakan, “akhi siap menunggu..sampai ukti siap” jawaban yang cukup singkat. “jika akhi benar-benar siap menunggu, bismillahirrohmanirrohim.. ana menerima keseriusan akhi”  jawabku dengan tersenyum, “Alhamdulillah ..” serentak semua keluarga penuh rasa gembira.
            Beberapa jam setelah berbincang, fauzan pamit pulang kepada semua keluarga rumah ku.
Malam harinya entah hatiku merasakan kebahagiaan apa yang Allah titipka kepada hamba, entah perasaan bergumang “kamu sudah memilikinya nisa’..”

DAIRY MOH.FAUZAN..

Teruntuk calon imamku..

Terimakasih ingin menjadi penyempurna dalam separuh agamaku, yang akan menjadi guru serta pembingbing menyempurna akhlakku.Mengenal suatu yang sederhana, pengorbanan yang begitu banyak perjuangan, melainkan sosok orang yang memberikan sebuah hati yang sebelumnya belum terisi, mengajarkan jarak jauh yang sebenarnya, mengerjakan dekat dengan do’a nya.Memang tak seindah cerita sayyidah Fatimah yang hanya diam untuk mengagumi, lalu tak seindah pula kisah cinta sayyidina Ali yang hanya diam untuk mencintai. Seandainya kisahku sekedar goresan pena dimana saksi hanyalah kertas putih, bahwasannya ku mencintainya dengan cara yang paling jujur.

_jombang, 02 Februari 2024

, , ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *